“Sewaktu masuk sekolah orang tua tidak ada rapat. Datang mendaftar langsung diberikan tabel harga uang sekolah, mulai dari harga 300 ribu per bulan, 200 ribu perbulan dan paling murah 160 ribu rupiah per bulan. Saat itu kami bayarkan 800 ribu rupiah bersama uang baju seragam ” katanya menjelaskan.
Mawarni juga menepis, jika pihaknya tidak mendatangi sekolah untuk mengambil ijazah. Namun anaknya disuruh pulang saat datang mau sidik jari lantaran tidak membawa uang pembayaran SPP.
” Anak saya datangnya saat itu mau sidik jari. Tapi oleh guru tidak boleh karena belum melunasi SPP” kata dia.
Anehnya, Basir Hasibuan selaku Kepala Bidang dalam pengawasan percaya begitu saja dengan laporan Kepsek tersebut tanpa melakukan “chek dan richek” atas kebenaran laporannya itu.
Belakangan, Basir Hasibuan malah mengaminkan pernyataan Kepsek Theresia Sinaga dalam konfrensi pers yang digelar di ikuti oleh sejumlah media.
Basir Hasibuan mengirimkan berupa sejumlah link pemberitaan bentuk klarifikasi dari pihak sekolah SMAN 12 Medan.
Amatan wartawan dalam pemberitaan bentuk klarifikasi tersebut dinilai keliru dan dianggap menciderai hak dari warga yang merupakan korban dalam peristiwa penahanan ijazah tersebut. Pasalnya, tak ada satu kalimat pun dari warga yang dimuat sebagai perimbangan dalam pemberitaan klarifikasi tersebut.
Atas sederet persoalan tersebut, sebelumnya juga JPKP Sumut telah melayangkan surat permintaan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk melakukan pendalaman terhadap penggunaan Dana BOS di Sekolah SMAN12 Medan serta mendalami aliran dana Komite yang dikutip dari orang tua murid.
Sementara itu, Kepsek SMAN12 Medan Theresia Sinaga saat dikonfirmasi wartawan dari tanggal 08 Mei hingga 15 Mei, baik secara langsung mendatangi sekolah maupun lewat pesan whatshap belum memberikan tanggapan resmi. (Ly).