TANPA UNSUR PEMBERAT
Dengan kata lain, sepatutnya Tempo cukup diminta memberikan hak jawab. Tidak perlu ada imbuhan harus meminta maaf.
Sebab, jika merujuk kebiasaan di Dewan Pers pada setiap kali ditemukan kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, frasa “diserta permintaan maaf” baru dibebankan kepada Teradu jika ditemukan adanya unsur pemberat dalam pelangggaran pasal-pasal dalam KEJ. Misalnya, media atau wartawannya beritikad buruk, menafikan sama sekali kewajiban verifikasi, dll.
Unsur-unsur pemberat yang biasa jadi pertimbangan ketika Dewan Pers mengenakan tambahan keharusan Teradu Tempo untuk meminta maaf tidak ditemukan dalam risalah hasil pemeriksaan seperti dibeberkan dalam PPR Dewan Pers no7 2024.
Lalu, apa pertimbangan dan alasan Dewan Pers menyertakan frasa minta maaf? Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan frasa itu sengaja dibuat sebagai pesan untuk semua media. “Agar nantinya semua media bisa benar-benar akurat dałam menyiarkan berita. Kami ingin menjadikan ketidakakuratan yang dilakukan Majalah Tempo sebagai contoh. Bahwa media sekelas Tempo saja, kalau tidak akurat akan diminta memberikan Hak Jawab dan meminta maaf,” kata Yadi.
Dia mengatakan bahwa jika membaca keseluruhan PPR no 7 tahun 2024, Dewan Pers sebenarnya tidak menyalahkan Tempo. “Secara substansial seluruh hasil liputan investigasi Tempo, bagus. Dari mulai peliputan, ikhtiar mengejar narasumber untuk wawancara dan sampai penulisannya. Semua ok.”
Yadi mengakui Dewan Pers memang menerima dan mendengar reaksi keberatan dan protes dari sejumlah wartawan senior.
Dia juga mengakui di Sidang Pleno Dewan Pers pun frasa permintaan maaf itu tidak bulat disetujui semua (9) Anggota Dewan Pers. Hanya tujuh anggota yang hadir di Pleno.
Dua orang tidak hadir. Yaitu, Arif Zulkifli (mewakili AJI, Tempo) dan Asmono Wikan (mewakili SPS). Darivt anggota yang hadir, enam anggota, termasuk ketua dan wakil ketua Dewan Pers menyetujui dimasukkannya frasa minta maaf itu . Hanya satu anggota, yakni, Atmadji Sapto Anggoro (mewakili tokoh masyarakat) yang menampiknya. “Isi liputan Tempo adalah kontrol sosial yang bagus. Jika ada ketidakakuratan kecil ya dikoreksi saja dalam Hak Jawab,” tukas mantan wartawan, yang juga Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers.
Apa pun, reaksi sejumlah wartawan senior atas PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024, bisalah ditangkap sebagai pantulan keresahan para jurnalis dalam menyikapi makin lemahnya pengawasan atas penyelenggaraan negara saat ini. Pelanggaran hukum dan etika terus terjadi dalam skala yang ugal-ugalan.
DPR sudah seperti lembaga negara yang lumpuh dan tidak berdaya. Terutama dalam menghadapi aksi pelanggaran hukum dan etika yang telah dilakukan Presiden Jokowi dan para pembantunya. Apa yang diungkapkan Majalah Tempo di sektor investasi dan perizinan pertambangan adalah sekelumit fakta telanjang atau bukti bagaimana pemerintah atau eksekutif kini makin menjadi kekuatan yang tak tersentuh dan tidak terawasi.
“Kontrol sosial pers pun sekarang terasa kian langka dilakukan. Kita memuji dan berharap Tempo yang saat-saat ini masih aktif melakukannya, tidak ikut dilumpuhkan. Apa yang dikenakan Dewan Pers terhadap Tempo bisa mengarah pada pelemahan atau pelumpuhan atas fungsi kontrol sosial pers,” ujar Asro Kamal Rokan, wartawan senor yang pernah memimpin koran Republika, LKBN Antara dan koran Jurnal Nasional.
Ilham Bintang bahkan mengingatkan Ketua Dewan Pers melalui chat WA.
” Laporan investigasi pers tidak bisa dibatalkan hanya karena di dalamnya ada unsur kekurangcermatan/ kurang akurat. Apalagi, kekurangan dimaksud sifatnya teknis. Seperti yang terjadi di dalam laporan utama Majalah Tempo yang diadukan oleh Bahlil Lahaladia, Menteri Investasi RI di Dewan Pers. Tempo menulis angka “ribuan perusahaan tambang” yang dinilai DP tidak akurat, sepatutnya hanya diminta untuk menyiarkan hak jawab menurut fakta yang dimiliki pihak pengadu. Tapi kewajiban itu pun harusnya batal karena pihak Tempo sudah meminta konfirmasi namun tidak dilayani oleh pengadu. Maka, menurut saya, penilaian DP atas Tempo yang dituduh melanggar kode etik dan merekomendasikan Tempo memuat hak jawab dan meminta maaf kepada publik dan Menteri Bahlil sebuah putusan yang berlebihan. Putusan itu mereduksi peran pers dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers yang seharusnya justru harus dilindungi Dewan Pers. Kritik itu dikirim Ilham minggu lalu, lewat tengah malam, setelah menunaikan Salat Tahajjud. “Supaya lebih nyerep,” ucap mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat dua priode itu.