“Para pelaku kemudian mempromosikan binatang langka yang dilindungi tersebut, menjual lewat akun media sosial dan mengirimnya kepada pembeli dengan menggunakan jasa ojek online atau bus antar kota sebagai kurir. Pengiriman barang dilakukan dengan membungkus satwa dengan kemasan yang tidak mencurigakan seperti dengan dilapisi kain dan dimasukkan kedalam kardus,” ujarnya.
Lebih lanjut, Edy mengatakan, cara pembayarannya menggunakan rekening bersama agar pelaku dan pembeli tidak saling mengetahui identitas masing-masing. Selain itu sindikat jaringan ini mewajibkan agar si pembeli dan penjual tidak saling mengetahui lokasi asalnya masing-masing dengan tujuan agar mereka tidak saling mengenal, serta menghindari penangkapan dari Polisi.
“Sindikat ini, memiliki beberapa group whatsapp dan facebook berdasarkan jenis satwa yang mereka jual. Untuk memasuki group/komunitas online jaringan ini, para pelaku sangatlah penyeleksi para membernya. Untuk bisa bergabung dalam group ini, member baru harus memiliki rekomendasi dari member lama yang sudah tergabung dari sindikat ini, dan telah memiliki reputasi dalam menjual satwa dilindungi,” ungkap Edy.
Selain itu, mereka juga memiliki sandi khusus yang tidak boleh dilakukan oleh member dalam group online tersebut seperti menanyakan dimanakah lokasi si penjual binatang tersebut, jika ada anggota group yang menanyakan hal tersebut, member tersebut langsung dilakukan blokir.
Para pelaku menjadi satwa langka dengan harga yang bervariatif, namun rata-rata para pelaku menjual hewan langka tersebut seharga Rp.400.000-Rp.20.000.000 per ekornya.
Edy menjelaskan, bahwa hewan langka ini, kebanyakan berasal dari alam liar yang ditangkap oleh pengepul dengan daerah yang masih memiliki wilayah hutan konservasi.