Namun kita yang benar-benar melakukan kegiatan jurnalistik sebenarnya pasti juga mengetahui, di lapangan banyak yang mengaku aku “Wartawan/Jurnalis” hanya dengan berbekal ID card atau kartu wartawan atau surat tugas dan berbagai atribut lain yang dikeluarkan oleh media tertentu yang cenderung “tidak jelas”. Pimpinan medianya/Pemimpin redaksinya/Penanggung jawab redaksinya juga cenderung “tidak jelas”, bahkan kita ketahui tidak pernah berprofesi sebagai wartawan sebenarnya. Medianyapun banyak yang tidak memenuhi persyaratan UU Pers. KEJ “diinjak-injak”, terlebih Peraturan/Aturan Dewan Pers, dinisbikan. Ini realita. Dewan Pers menyebutnya sebagai wartawan abal-abal.
Wartawan abal abal ini bukan mencari berita dan tidak pernah memberitakan. Mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik yang sebenarnya. Tujuannya hanya cari “duit kecil” dengan cara yang sangat jauh dari ‘terhormat’ bahkan memalukan dan dengan mendompleng atribut jurnalis. Sebagian bahkan “dompleng sana dompleng sini” untuk tujuan melakukan perbuatan kriminal pemerasan. Tipe tipe ini bagi saya, “sampah”. Mengotori tugas mulia jurnalis/wartawan. Apakah terhadap “sampah” seperti ini PJI melakukan pembelaan?! Jelas tidak.
Demi mempertahankan nilai kehormatan jurnalis/wartawan yang sebenarnya, semua rekan seyogyanya saling mengingatkan bahkan memproteksi bila menemukan wartawan abal-abal. Jangan hanya “masa bodoh”. Reformasi 1998 harus tuntas dan menghasilkan jurnalis kritis, handal namun tetap bertanggung jawab. Dan khusus tentang jurnalis anggota PJI, dapat diinformasikan ke hotline 081 330 222 442.
Penulis : Hartanto Boechori.
Wartawan Utama/Ketua Umum PJI.
Sumber :DPP.PJI.or.id