Oleh: Taufik Fathoni
Beberapa hari lagi, tepatnya pada tanggal 9 Pebruari nanti, kita akan memperingati Hari Pers Nasional. Mengingat pentingnya peranan pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peringatan tersebut tentunya tidak cukup hanya ditandai dengan berbagai kegiatan yang bersifat seremonial. Tetapi harus dijadikan momentum bagi pencarian solusi, atas berbagai masalah yang dihadapi pers nasional dewasa ini.
Sebagaimana kita semua ketahui, pers sering dipandang sebagai alat perjuangan. Dan pada kenyataannya, perjuangan politik di negara mana pun memang selalu melibatkan pers didalamnya. Di Indonesia sendiri, pada zaman Orde Lama banyak bermunculan pers yang secara terang-terangan tampil sebagai partisan dari kekuatan politik tertentu.
Tapi ironisnya, sebagai alat perjuangan pers tidak memiliki kekuatan untuk menjaga wibawa dan martabatnya sendiri, dari pencemaran yang dilakukan oleh oknum yang berasal dari luar dirinya. Sehingga orang bisa dengan mudah mengaku sebagai wartawan, dengan maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Ada yang melakukannya untuk sekadar gagah-gagahan, dan tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai modus kejahatan.
Semua itu dilakukan tanpa rasa takut menghadapi resiko dari organisasi pers. Berbeda misalnya jika orang mengaku sebagai anggota TNI atau Polri. Tentunya dia akan berpikir seribu kali. Walaupun ada saja orang yang nekad melakukannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, pers di Indonesia memang kerap terbentur oleh masalah yang harus dihadapi. Pada zaman Orde Lama sampai Orde Baru, pers kita mengalami pengekangan sampai pada ancaman pembredelan. Rosihan Anwar menggambarkannya sebagai “pers yang tiarap”. Dan sekarang, di era reformasi, ketika pers mulai menikmati kebebasannya justru harus pula menghadapi ekses dari kebebasan pers itu sendiri.