Presiden Joko Widodo bulan April lalu merinci, anggaran Pemilu yang dialokasikan pemerintah untuk KPU sebesar Rp 76,6 triliun dan Bawaslu Rp 33,8 triliun. Perputaran uang besar akan terjadi mengingat seluruh peserta Pemilu juga akan membelanjakan uangnya “membeli tiket” supaya diusung parpol masing-masing dan biaya kampanye / sosialisasi untuk menarik simpati rakyat memilih dia. Diramalkan total belanja calon itu sebesar Rp. 1000T. Setara dengan 30 % APBN 2022, atau lebih besar dari alokasi anggaran pembangunan dalam APBN. 2022. Jika lebih dirinci lagi, sekitar 2 X biaya IKN.
Pemilu belakangan memang menjelma menjadi industri raksasa setiap lima tahun sekali. Pesonanya luar biasa. Pemilu seperti mesin penyedot debu raksasa. Menyedot bukan hanya pihak yang berkepentingan langsung dengan demokrasi. Mesin itu menyedot juga banyak keahlian yang lahir belakangan, seperti konsultan politik, surveyor, influenzer, buzzer, dan tak lupa para petualang pemburu rente semata.
Pemilu, sejatinya memang adalah pesta demokrasi. Pesta daulat rakyat setiap lima tahun sekali. Setiap satu suara rakyat punya harga yang ikut menentukan masa depan bangsa. Namun, pada sisinya yang lain, melekat citra sebagai “kotak dollar”. Dalam pengalaman penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air sebelumnya, pesta demokrasi itu merupakan saat panen raya bagi semua pihak. Perusahaan Media pers, tempat wartawan bekerja menyuarakan idealisme pers, juga punya unit usaha yang berfungsi seperti halnya perusahaan lain, hidup dari Pemilu itu. Sejak dulu.
Jauh sebelum distrupsi di dunia informasi terjadi. Jauh sebelum kelahiran media-media baru, media digital dan sosial media. Namun, karena perusahaan media pers bersifat khusus, maka ia dibebani banyak aturan yang membedakannya dengan perusahaan biasa. Pertama, tentu saja media pers wajib memperhatikan obyektivitas, netralitas atau keberimbangan di dalam produk jurnalistiknya. Dalam banyak hak wartawan dan media pers dengan politisi dan Pemilu, seperti air dan minyak. Mustahil menyatu meski bisa bercampur. “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu,” kata Franklin D. Roosevelt. Ranah politisi “bagaimana baiknya”, sedangkan ranah pers “bagaimana benarnya”. Ingkar janji atau bahkan berbohong adalah hal lazim dalam dunia politik, sedangkan di dunia pers hal itu tabu, haram. Wartawan dididik hanya memberitakan atau menyuarakan fakta. Katakan yang salah itu salah sekalipun menyakitkan. Sekalipun pemasang iklan mencabut iklannya, dan bisa juga pemilik media menindak wartawan yang bertanggung jawab di bidang redaksi.
Trauma Pemilu 2019 lalu masih menghantui kita. Total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat kelelahan. Dua petinggi KPU ditangkap KPK terkait dengan kasus korupsi karena menyalahgunakan kewenangannya. Tidak terhitung jumlah anggota DPR, kepala daerah produk Pemilu yang menjadi tahanan KPK membuat kita frustrasi dan meragukan Pemilu dan Demokrasi itu sendiri. Harga terbesar yang mesti kita bayar, hingga sekarang, terjadi keterbelahan masyarakat. Sungguh memperihatinkan julukan yang tak beradab pada saudara sebangsa kita sendiri : Cebong” versus ” Kampret” atau “Kadrun”.
Di masa Orde Baru demokrasi kita dijuluki demokrasi pengejar layang- layang. Masih menggambarkan keadaan suka cita para pengejar layang- layang. Yang diawal -awal ” game ” bahu – membahu menciptakan kegembiraan dengan permainan itu. Aturan dibuat bareng, gala bambu dicreate bersama dikasih ranting pohon ujungnya, menyeberang jalan saling menjaga, meski endingnya ironis. Tidak ada yang boleh mendapat layangan itu, mendingan robek-robek. Tapi tidak ada yang kecewa. Besok bermain lagi. Begitu lagi.
Tapi satu dasawarsa terakhir permainan berubah drastis. Kita mengurut dada karena semangat sportivitas sebagaimana dalam game apapun hilang. Yang ada semangat saling mengenyahkan satu sama lain. Hoax dan doxing menjadi senjata pamungkas untuk menyalurkan naluri pengenyahan lawan politik, bahkan jauh sebelum kompetisi dimulai.