Oleh: Taufik Fathoni
Almarhum Nurcholis Majid pernah melontarkan pemikiran yang mengundang kontroversi. Yakni tentang konsep sekularisasi yang kemudian disalah-pahami sebagai sekularisme.
Bagi Cak Nur, demikian beliau akrab disapa, sekularisasi adalah upaya memisahkan sesuatu yang bersifat profan dari yang sakral atau suci (sacred). Contoh konkretnya adalah pernyataan “Islam yes, partai Islam no” yang juga ramai diperbincangkan.
Dari pernyataannya itu Cak Nur tampak sekali ingin lebih menegaskan konsep sekularisasinya. Dalam pandangan Cak Nur, semua partai politik, termasuk yang dilabeli sebagai partai Islam, adalah sesuatu yang profan. Walaupun di belakangnya diberi merek “Islam”, tidak serta merta akan menjadikannya sebagai sesuatu yang sakral.
Dengan demikian, umat Islam yang tidak mencoblos partai Islam tidaklah berdosa. Karena memang partai politik itu bukanlah agama yang harus diimani. Demikianlah kira-kira yang ingin ditegaskan Nurcholis Majid lewat pernyataannya “Islam yes, partai Islam no”.
Mensakralkan sesuatu yang profan ternyata memang dapat menimbulkan kerugian. Saya menemukan buktinya dalam dunia kesenian. Dulu, di Keraton Kanoman ada kesenian yang disebut “Tari Kajongan”. Jenis tarian tersebut dianggap sakral, dan hanya boleh dipelajari oleh keluarga keraton sendiri. Masyarakat di luar keraton ‘pamali’ untuk ikut mempelajarinya.
Ketika keluarga keraton sendiri tidak ada lagi yang mempelajarinya, Tari Kajongan yang merupakan salah satu kekayaan budaya Cirebon itu pun punah. Tidak ada yang mengenalinya lagi.
Beberapa tahun lalu keluarga Keraton Kanoman berinisiatif untuk menemukan kembali kekayaan yang telah hilang itu. Melalui upaya revitalisasi, gerakan-gerakan Tari Kajongan dicoba untuk direkontruksi. Tapi hasilnya tidak memuaskan. Pinisepuh dari keluarga keraton yang dulu selagi muda pernah mempelajarinya, sekarang karena faktor usia sudah tidak mengingatnya lagi. Kekayaan dari khazanah budaya Cirebon itu pun hilang, tidak dapat ditemukan lagi.