“Pembahasan dalam UU TNI ini jauh dari substansi serta tidak menyelesaikan masalah struktural di tubuh TNI. Sebaliknya, undang-undang ini justru mengusulkan penambahan posisi untuk prajurit di ranah sipil, yang berpotensi menghambat profesionalisme TNI dan melanggar semangat reformasi,” ujar Riyan.
Ia menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara seharusnya difokuskan pada tugas pokoknya, bukan ditempatkan dalam jabatan-jabatan sipil.
“Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik, dan dipersiapkan untuk perang, bukan untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Dengan memberikan kembali ruang bagi TNI dalam urusan sipil, UU TNI ini justru membuka jalan bagi distorsi kekuasaan yang berbahaya,” tambahnya.
Riyan juga menilai bahwa keterlibatan prajurit dalam pemerintahan sipil dapat mengancam kebebasan masyarakat.
“Militer bukan hanya berpotensi bercokol dalam birokrasi, tetapi juga bisa menjadi alat kontrol politik yang membungkam kebebasan sipil. Ini merupakan bentuk nyata dari regresi demokrasi—bukan sekadar langkah mundur, tetapi sebuah pembantaian dan penelanjangan supremasi sipil yang dilegalkan,” tegasnya. (F)