Usman Hamid menyebut sebagian pembunuhan warga sipil oleh aparat bermotif balas dendam. Merujuk laporan Amnesty International, 56 dari total 95 kematian warga sipil di Papua, dalam periode Januari 2010 hingga Februari 2018, tidak berkaitan dengan aktivitas politik. Di luar itu, pembunuhan berencana terhadap aktivis prokemerdekaan Papua juga dituduhkan kepada polisi dan tentara.
Namun faktanya, kata Kapendam, bahwa setiap saat korban laka lalin, korban perang suku, dan lalin-lain mereka upload ke berbagai media bahkan sampai International dengan menuding bahwa itu adalah korban kekejaman aparat TNI-Polri.
Menurut Kol Inf Aidi setiap insiden yang terjadi di Papua mereka selalu menyoroti hanya dari akhir kejadian di mana jatuh korban, tetapi mereka tidak pernah mau jujur mengungkap proses kejadiannya dan akar permasalahannya, contohnya kasus Paniai Desember 2014 yang selalu mereka gembor-gemborkan hanya menyoroti tentang jatuhnya korban, tapi tidak pernah dibahas bagaimana ketika ribuan massa bersenjata panah, tombak, golok bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat keamanan. Aparat keamanan berusaha membela diri bertindak tegas sehingga akhirnya harus ada yang jatuh korban.
Akar persoalan yang paling hakiki di Papua karena adanya sekelompok orang yang mengangkat senjata secara Illegal merongrong kedaulatan negara menuntut merdeka pisah dari NKRI. Hal ini di negara hukum manapun di seluruh dunia tidak ada yang membenarkan adanya pemilikan senjata api apalagi standar militer secara Illegal.
“Dan di negara manapun di seluruh dunia tidak ada suatu pemerintahan yang mentolelir suatu tindakan makar atau pemberontakan terhadap kedaulatan Negaranya. Mereka mempersenjatai diri saja secara Illegal itu sudah salah, tidak dibenarkan oleh hukum manapun. Termasuk kegiatan atau upaya makar melawan kedaulatan Negara. Tetapi apabila mereka jatuh korban mereka ingin dianggap benar dan menuntut keadilan atau pembelaan,” jelas Kol Inf Aidi.