“Pemerintah harus bersikap ketika ada permasalahan di pembangunan ‘tower’,
kenapa setelah putus kontrak mereka masih bekerja di situ,” kata Ketua DPRD Siak.
Lebih lanjut, dikatakan Indra Pemkab Siak harus tegas jika memang manajemen PT BSP salah mengambil kontraktor. Terlebih lagi pembangunan menara itu tidak kecil yakni bernilai Rp87 miliar.
Selain itu ditanyakannya apakah keputusan pemutusan kontrak ini sudah persetujuan pemegang saham. Pasalnya Pemkab Siak adalah yang mayoritas sehingga yang lain bertanya-tanya kenapa ini seperti tidak ada penyelesaian.
Dalam kesempatan itu, Asisten II Pemkab Siak, Hendrisan tidak memberikan jawaban beserta sikap pemerintah atas kemelut yang terjadi di PT BSP yang menjadi pertanyaan anggota Dewan Siak.
Bahkan, dari yang disampaikan Hendrisan, Pemda Siak terkesan berlindung dibalik management PT BSP.
Hendrisan yang juga rangkap jabatan sebagai Komisaris PT BSP menceritakan awal mula pembangunan gedung itu sejak Mei tahun lalu.
“Mei mulai kerja, setiap bulan direktur selalu melapor. Selalu kami komisaris dan perwakilan Pemkab Siak menyarankan manajemen mengikuti ketentuan berlaku pengadaan barang dan jasa,” ujarnya.
Kontraktor, sebut Hendrisan, minus pembangunannya lebih dari dua persen per pekan atau per triwulannya serta diikuti peringatan pertama dan kedua.
Lanjutnya, pihaknya kemudian menyarankan tim percepatan pembangunan gedung konsultasi ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Disarankan secara lisan jika keterlambatannya lebih 16 persen, maka kami menyarankan putus kontrak saja. Sesuai ketentuan setelah 14 hari dicairkan jaminan pelaksanaan,” ungkapnya.
Ke depan, tambah Hendrisan, perlu dilakukan upaya hukum karena kalau sudah putus kontrak mestinya tidak bekerja lagi. Direktur juga tidak bisa menganulir putus kontrak itu ataupun menetapkan kontraktor itu jadi pemenang kembali.
1 komentar