KISAH ARSITEKTUR CINA YANG TERSISA
Opini : Taufik Fathoni (wartawan senior Cirebon).
Secara historis, Cina adalah salah satu bangsa di dunia yang paling erat dan intens hubungannya dengan bangsa Indonesia. Sejak dahulu kala, ketika pemerintahan di Nusantara ini masih berupa kerajaan-kerajaan, orang dari negeri Cina sudah berdatangan dan berinteraksi dengan penduduk Indonesia.
Dalam buku “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia” disebutkan, pendatang dari Tiongkok itu sudah banyak yang bermukim di Nusantara sejak abad ke-5 Masehi, sebelum era Walisongo dan jauh sebelum datangnya penjajah Belanda. Wajar jika kedekatan hubungan seperti itu kemudian memberikan pengaruh yang membuahkan akulturasi.
Di Cirebon, Jawa Barat, akulturasi tersebut tercermin dalam bentuk Kereta Kencana Paksi Naga Liman. Kereta kebesaran di Keraton Kanoman itu memberikan gambaran bahwa, kebudayaan Cirebon terbentuk dan merupakan perpaduan dari tiga kebudayaan adiluhung di dunia: Paksi atau Burung (Arab), Naga (Cina), Liman atau Gajah (India).
Dengan kata lain, akulturasi tersebut telah membentuk karakter dan budaya tersendiri bagi masyarakat Cirebon. Sehingga, meskipun Cirebon terletak di Pulau Jawa dan pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Pajajaran yang Sunda, tapi Cirebon tetaplah Cirebon. Atau dalam istilah budayawan Nurdin M. Noer, “Cirebon is Cerbon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda”.
Merasuknya pengaruh kebudayaan Cina dalam kehidupan masyarakat di Cirebon tidaklah terlalu mengherankan. Sebab bahkan Syekh Syarif Hidatullah atau Sunan Gunung Jati yang mendirikan Kesultanan Cirebon memiliki istri putri Cina, Ong Tien Nio. Wajar jika jejak budaya Cina dalam akulturasi di Cirebon masih dapat dilihat sampai saat ini. Di antaranya adalah yang berupa arsitektur.