Menurut Firdaus, kalau surat sakit tersangka itu saja yang jadi alat oleh Kejari Siak, maka perlu dipertanyakan lagi independensi Kejari dalam memberikan penangguhan atau pengalihan tahanan.
“Kejanggalan ketiga mengenai tahanan kota yang diberikan, di mana kota tempat ia ditahan kota? Siak atau Pekanbaru atau Jakarta. Sebab setahu kita berdasarkan berkas perkara tersangka berdomisili di Jakarta. Nah pertanyaannya apakah Kejari punya yuridiksi untuk mengawasi tersangka sampai ke Jakarta,” kata dia.
Pihaknya juga mepertanyakan terkait jaminan Kejari dapat memastikan kelancaran dalam sidang. Sebab, Kejari dinilai kurang mempertimbangkan tersangka Suratno menjadi DPO Polda Riau.
“Kita menghormati bahwa hak untuk memberikan pengalihan tahanan adalah hak subjektif Kejari Siak, namun demikian perlu dipertanyakan apakah ada jaminan nantinya tersangka dapat mengikuti sidang dengan tertib?,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Kejari Siak menahan Direktur PT DSI Suratno Konadi, sebagai tersangka pemalsuan surat keputusan Menhut nomor 17/KPTS-II/1998, Selasa (9/4/2019). Sementara tersangka kedua, mantan Kepala Dinas Kehuatanan dan Perkebunan (Dishutbun) Siak Teten Effendi dilepas atau tidak ditahan.
Kasi Intel Kejari Siak Beni Yarbert dan tim JPU Zikrullah dan Lina memberikan keterangan, pihaknya menerima tahap II terhadap perkara dugaan pemalsuan SK Menhut dengan tersangka Suratno Konadi dan Teten Effendi.
Ia menjelaskan, terdahap tersangka Suratno Konadi dan Teten Effendi didakwa dengan pasal 263 ayat 2 KUHpidana jo pasal 55 ayat ke 1 KUHpidana dengan ancaman 6 tahun penjara.
“Terhadap Suratno ditahan sampai 28 April 2019. Karena tersangka Suratno, sebagaimana kita ketahui dia tidak kooperatif saat penyidikan sehingga sempat ditetapkan DPO, dengan dasar 2 kali pemanggilan tidak hadir dengan berbagai macam alasan,” kata dia.(my)