Akan tetapi kontribusi kepala daerah tersebut terhadap misi pengetasan kemiskinan,mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan tidak terwujud dan terlihat upaya yang dilakukan dan hal ini perlu disikapi dan dipertanyakan. Apalagi saat ini terdesus adanya penurunan kinerja dalam pengelolaan minyak di CPP Blok tersebut.
Hasil audit BPK tahun 2020 saja menemukan ketidakstabilan manajemen BSP dalam pengoperasian kinerja, salah satunya masalah SOP yang tidak baik, kurang cermat dalam melakukan investasi dan menjalankan usaha tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Secara gambaran identifikasi temuannya adalah Investasi yang Dilakukan PT BSP Belum Memberikan Keuntungan Finansial sebesar Rp 8.175.miliar, terdapat pula temuan hutang yang belum dibayarkan dan terdapat rangkap jabatan.
Disabiltas Kemikinan masih menghantui Rakyat
Selain Krusial Dinasti dan Masalah Rangkap Jabatan. FITRA Riau juga menyoroti bagaimana kekayaan migas sebagai salah satu Sumber daya alam di riau tidak berdampak dengan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat riau apalagi daerah-daerah yang berpenghasil disektor migas juga cenderung penyumbang sektor kemiskinan dengan catatan rata-rata tiga tahun terakhir 64,3% penduduk miskin di Riau berasal dari tujuh daerah penghasil Migas.
Dilihat dari update data Kajian FITRA. Bahkan tahun 2019, total penduduk miskin di Riau adalah 490.720 jiwa, atau setara dengan 7,08 persen dari total populasinya. Dari jumlah itu, 345.010 nya atau setara 70,3 persen berasal dari 7 daerah penghasil Migas di Riau. Seperti kabupaten Bengkalis, Rokan Hulu, Siak, Kampar, Rokan Hilir, Pelalawan dan Kabupaten Meranti.
Dipersentasekan,bahwa kabupaten penghasil migas tersebut justru berada dari rata-rata garis kemiskinan provinsi dengan persentase Kabupaten Meranti garis kemiskinan tertinggi di tahun 202I sebesar 25,68% disusul Kab Rokan Hulu 10.40%,Pelalawan 9,63%,Kampar 7,82%,Rokan hilir 7,18% dan Bengkalis 6,64% dan Siak 5.18%.