Tujuh bulan kemudian, sebagai hasil perjuangan gerilya untuk mempertahankan RI yang dipimpin Syafruddin di Sumatera dan Jenderal Soedirman di Jawa, serta perjuangan diplomasi internasional, Belanda terpaksa meninggalkan Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, Bung Karno dan Bung Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogya pada 6 Juli 1949. Tiga hari kemudian, delegasi yang dipimpin Mohammad Natsir, dr. Leimena dan dr. Abdul Halim, bertolak ke Padang dan terus ke Padang Japang di Kabupaten Limapuluh Kota guna menjemput Syafruddin Prawiranegara dan kawankawan untuk kembali ke Yogya.
Bersama Panglima Besar Soedirman, pada tanggal 13 Juli 1949 Syafruddin mengembalikan mandat pimpinan pemerintahan RI kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Untuk memperingati peristiwa maha penting itu, yaitu kembalinya pemerintahan yang berdaulat dari Sumatera Barat ke Yogyakarta, maka didirikanlah “Monumen Yogya Kembali” itu.
Berkaitan dengan peristiwa sejarah itu, ketika menjadi Gubernur Sumatera Barat tahun 2006, saya mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadikan hari lahir PDRI sebagai “Hari Besar Nasional”. Alhamdulillah, permohonan yang didukung masyarakat Sumatera Barat itu dikabulkan.
Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tanggal 14 Desember 2006, maka tanggal 19 Desember, yaitu hari lahirnya PDRI di Bukittinggi, ditetapkan menjadi “Hari Bela Negara” sebagai “Hari Besar Nasional” setara dengan Hari Pahlawan 10 November.
Ketika cerita sejarah itu saya sampaikan kepada beberapa orang yang saya temui di Yogyakarta, bahwa “Monumen Yogya Kembali” itu adalah tanda kembali dari Sumatera Barat, mereka mangut-mangut. Saya tak tahu pasti apa maknanya, setuju, paham, atau meragukan cerita saya. Yang jelas, tidak ada yang protes atau membantah cerita itu.