“Langkah PTPN sejak beberapa tahun lalu tentu sudah sangat baik dan berpeluang mendorong perusahaan lebih profesional dan profit meningkat,” jelas dosen Magister Ilmu Ekonomi Univesitas Trisakti dan Atma Jaya ini.
Seperti diketahui, PTPN Group juga melakukan perbaikan keuangan melalui restrukturisasi utang, efisiensi operasional dan biaya manajemen, peningkatan akuntabilitas dan fungsi pengendalian, serta transformasi EBITDA.
Hasilnya, perusahaan dapat mengganti predikat sebelumnya dari perusahaan merugi menjadi perusahaan yang pencetak laba. Sejak tahun 2021 hingga Kuartal III 2024, laba bersih konsolidasi telah mencapai Rp13,6 triliun.
Hans Kwee menilai aksi bisnis PTPN, terutama dalam tiga tahun terakhir, sejalan dengan tujuan pembentukan Danantara Indonesia, yaitu mendorong transformasi ekonomi dengan pendekatan profesional dan menerapkan good governance.
“PTPN Group dapat bersinergi dengan Danantara karena upaya melakukan efisiensi aset sudah berusaha dilakukan perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Sekarang, tinggal bersinergi dalam merealisasikan rencana bisnis yang lebih besar,” katanya.
Hans Kwee menambahkan memang jika dilihat dari sisi nilai aset, BUMN perbankan masih memimpin. Namun, PTPN Group tidak kalah strategis karena nilai asetnya terus meningkat dan masih banyak potensi kenaikan nilai tambah jika aset dikelola lebih optimal.
Data Kementerian BUMN tahun 2023, menunjukkan PTPN Group berada diurutan ke-11 sebagai pemilik aset terbesar. Total Nilai aset Holding Perkebunan mencapai Rp143.900 triliun. Diurutan 10 besar ditempati Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, BTN, Taspen, Telkom Indonesia, MIND ID dan Hutama Karya.
Sementara itu, luas lahan Holding BUMN Perkebunan mencapai 1,18 juta hektare. Sedangkan, salah satu sub holding, yaitu Palm Co memiliki lahan sawit terbesar di dunia, melebih luas lahan sawit Malaysia Sime Darby dan Golden Agri milik Sinar Mas. Ini tentu luar biasa karena hilirisasi produk sawit akan sangat banyak memberikan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia.