Secara geografis Cirebon terletak di Pulau Jawa bagian barat. Kendati demikian, masyarakat Cirebon adalah sebuah entitas tersendiri yang berbeda budayanya dengan Jawa maupun Sunda. Setidaknya klaim itulah yang dipertahankan sampai sekarang oleh wong Cerbon sendiri.
Secara kultural, Cirebon juga terletak di antara kebudayaan Jawa dan Sunda, dua kebudayaan adiluhung yang melahirkan peradaban tinggi pada zaman keemasannya. Budayawan Cirebon Nurdin M. Noer, menyebutnya sebagai melting pot, titik tempat bertemunya dua kebudayaan yang berbeda.
Pertemuan dua kebudayaan itulah yang kemudian membentuk “Budaya Cirebon” dengan kekhasannya sendiri. Terutama yang paling mencolok adalah bahasanya, yang tidak sama dengan Jawa maupun Sunda –walaupun ada beberapa suku katanya merupakan serapan dari bahasa Jawa dan Sunda.
Sebagai masyarakat yang bukan Jawa dan bukan pula Sunda, rupanya telah menjadikan wong Cerbon lebih terbuka dan egaliter. Sehingga dapat pula mengolah akulturasi setelah perjumpaannya dengan budaya Arab, Cina dan India.
Unsur-unsur dari tiga kebudayaan besar di dunia itu, yang kemudian disimbolkan dalam bentuk Kereta Kencana Paksi Naga Liman, semakin memperkokoh kemandirian Cirebon dari hegemoni budaya Jawa dan Sunda. Namun Urang Sunda sendiri tampaknya masih tetap memandang Cirebon sebagai bagian dari suku Sunda.
Saya sendiri pernah menyaksikan pertemuan sejumlah tokoh Sunda, termasuk diantaranya Sam dan Acil Bimbo, dengan Sultan Kasepuhan (waktu itu Maulana Natadiningrat) pada sekitar akhir tahun ’80-an. Intinya, kedatangan para tokoh Sunda itu untuk merangkul kembali Cirebon ke pangkuan Suku Sunda. Alasan historisnya, karena Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, yang nota bene adalah Raja Sunda.